Pameran “Show of Process” yang diselenggarakan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Pertunjukan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tidak hanya menjadi pemenuhan tugas akhir tiga mata kuliah (Seni Lukis Dasar, Desain Grafis, dan Kritik Seni), melainkan bentuk nyata bagaimana kampus dapat menjadi ruang publik yang hidup dan berdaya. Tidak sekadar selebrasi estetika, pameran ini menekankan pada proses kreatif, pemahaman lintas media, lintas disiplin kajian, dan keberanian untuk tampil sebagai pembelajar.
Sebagai kurator dan dosen pengampu, saya tidak menempatkan diri sebagai pengarah mutlak, melainkan fasilitator ruang belajar yang otonom. Mahasiswa diberi kepercayaan penuh untuk merancang, mengeksekusi, dan mengevaluasi proses mereka sendiri—sebuah bentuk pedagogi yang menempatkan kepercayaan sebagai metode. Ruang basement yang disulap menjadi galeri bukan hanya ruang alternatif, tapi simbol keberanian menaklukkan keterbatasan. Dalam lanskap pendidikan seni yang sering kali dibatasi oleh instrumen teknokratis, ruang ini menjadi metafora: bahwa kreativitas tidak tunduk pada standar fisik, dan semangat kolektif dapat mengubah batas menjadi kemungkinan. Keberanian ini adalah pernyataan sikap—bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti, tetapi panggilan untuk mencipta dengan cara yang paling jujur dan kontekstual.
Tahun-tahun sebelumnya, pengalaman mahasiswa saat mencoba menjalin kolaborasi dengan institusi di luar kampus seringkali berujung pada ‘pengerdilan’. Mahasiswa dianggap belum cukup layak berpameran. Narasi ini kami lawan dengan prinsip bahwa proses dan keberanian untuk menampilkan karya—baik yang selesai sempurna maupun yang masih dalam progres—adalah bagian esensial dalam pendidikan seni. Penilaian bukan semata pada hasil, tetapi pada dinamika berpikir, eksplorasi, dan penghayatan. Jangan-jangan, karya mahasiswa yang belum rampung justru menyimpan potensi menjadi karya yang kelak disandingkan dengan para seniman mapan. Bahkan bila mereka tidak menjadi pelukis atau desainer profesional sekalipun, mereka tetap memiliki peluang menjadi penyumbang gagasan, penyampai kritik, dan bagian dari ekosistem kebudayaan yang dinamis. Ini selaras dengan semangat empat pilar pemajuan kebudayaan: perlindungan, pemanfaatan, pengembangan, dan pembinaan. Pameran ini adalah latihan awal untuk membangun ekosistem itu dari kampus—bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk hari esok yang lebih cerah.
Integrasi tiga mata kuliah dalam satu ruang kerja kolaboratif membuka pemahaman baru bagi mahasiswa: bahwa seni adalah jejaring ide yang bisa bersifat multidisipliner. Karya desain grafis hadir dalam bentuk kaus yang memuat kritik sosial, poster himbauan, dan visualisasi isu-isu kebangsaan. Sementara karya lukis merefleksikan ragam pendekatan artistik, dari naturalisme hingga ekspresionisme dan kubisme. Namun, karya-karya ini tidak semata hadir sebagai representasi gaya—melainkan sebagai bentuk kritik dan refleksi atas gagasan kemapanan artistik itu sendiri. Bukan untuk menolak kemapanan, tetapi menjadikannya sebagai ruang eksplorasi ide dan gagasan yang cerdas, terbuka, dan membebaskan. Dengan begitu, seni dalam konteks pendidikan tinggi bukan lagi menyoal penguasaan teknik semata, tetapi pembentukan pemahaman kritis yang membentuk karakter visual personal mahasiswa—sebuah cermin dari tanggung jawab kampus sebagai ruang tridharma, termasuk dalam fungsinya sebagai kontrol sosial yang aktif terhadap dinamika estetika dan budaya masyarakat.
Tidak ada seleksi kuratorial ketat dalam pameran ini, bukan karena menafikan peran kurator, melainkan sebagai bentuk keberpihakan terhadap proses sebagai nilai utama. Dalam dunia seni yang dinamis, kurasi tidak selalu hadir dalam bentuk seleksi karya secara kaku, melainkan sebagai pemetaan konteks dan pembacaan terhadap wacana. Setiap karya mahasiswa adalah representasi dari proses reflektif dan keberanian untuk tampil—itulah bentuk kurasi sesungguhnya. Kami tidak menafikan pentingnya seleksi dalam praktik profesional, namun dalam konteks ini, publik dan ruang pameran menjadi kurator alami, tempat karya diuji, dinikmati, dan dikritisi. Mahasiswa diberi kebebasan penuh dalam memilih media, teknik, dan gaya sesuai karakter dan pencarian estetik masing-masing, karena seni bukan soal benar-salah, tapi hidup dan bergerak dalam ranah “lebih indah atau belum indah.”
Kuratorial ini tidak didasarkan pada standar mimesis atau capaian visual tunggal, tetapi pada kedalaman proses, keterlibatan emosional mahasiswa, dan keberanian mereka menantang batas konvensional dalam penciptaan karya. Pameran ini juga menghadirkan ruang tayang khusus yang menampilkan dokumentasi proses sejak awal: dari konsep, kanvas kosong, progres kegiatan, hingga karya yang belum atau sudah selesai. Penayangan ini bukan untuk mengkomparasikan karya, tetapi untuk menunjukkan otentisitas proses sebagai bentuk narasi utama dalam pendidikan seni. Di sinilah pendidikan seni menemukan maknanya: ketika mahasiswa menemukan bahasa visual mereka sendiri di luar standar yang mapan dan mampu mengartikulasikannya kepada publik dengan jujur dan terbuka.
Pameran ini juga membuka pintu kampus sebagai ruang edukasi publik. Kami percaya, kampus tidak boleh menjadi menara gading yang tertutup. Maka kami ajak publik luas untuk melihat, memahami, dan berdialog—karena seni adalah milik bersama. Mahasiswa kami tidak sedang berpura-pura menjadi seniman besar. Mereka sedang belajar, dan pameran ini adalah bagian dari perjalanan itu.
Dengan dukungan penuh dari Ketua Prodi, Dekan FKIP, dan Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, kegiatan ini menjadi bagian penting dari proses pembelajaran berbasis proyek (PjBL). Kami sadar, dalam sistem pendidikan yang masih kaku dan berorientasi pada hasil, pendekatan ini bisa tampak berani. Tapi keberanian itulah yang menjadi landasan utama proses ini.
Pameran diselenggarakan pada tanggal 23–25 Juni 2025, di ruang basement Gedung C, Kampus FKIP Untirta, Kota Serang. Lokasi yang sederhana ini justru kami jadikan simbol bahwa keterbatasan bukan penghalang, melainkan ruang tumbuh yang kreatif. Kami ingin menunjukkan bahwa kampus bukan hanya tempat menilai, tetapi juga tempat merayakan keberanian belajar dan mencipta. Pameran ini bukan titik akhir, melainkan titik mula menuju kesadaran artistik yang lebih luas, terbuka, dan reflektif.
Kami juga mengundang seluruh mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dari berbagai fakultas dan program studi, untuk hadir, melihat, dan merayakan keberanian kolega kalian dalam menampilkan proses belajar yang jujur. Pameran ini bukan hanya milik mahasiswa seni, tetapi milik bersama sebagai ruang edukasi, dialog, dan tumbuh kembang lintas disiplin. Jadikan ruang ini sebagai tempat kita belajar bersama tentang seni, keberanian, dan kemanusiaan.
Hadiyatno, M.Pd/FKIP